Senin, 10 Juni 2013

"TAULADAN DALAM KASIH SAYANG, SABAR DICACI MAKI TANPA MARAH DAN MEMBENCI, SERTA MENGHORMATI ORANG TUA"

Di suatu sudut pasar kota Madinah, hidup seorang lelaki Yahudi tua yang buta. Lelaki ini setiap harinya mengisi dengan meminta-minta, namun tidak hanya meminta-minta seperti pengemis lainnya. Lelaki Yahudi ini juga suka berbicara kepada siapa saja yang lewat atau mendekatinya. Sayangnya, lelaki ini bukan bicara yang baik-baik, justru bicara sambil menghasut. “Wahai kawan, jangan dekati Muhammad dan jangan mau didekati Muhammad. Dia itu orang gila, pembohong dan tukang sihir. Bila kalian dekat-dekat dengannya, kalian akan dipengaruhinya. Jadi hati-hatilah. Jangan dekat-dekat Muhammad” begitu selalu si Yahudi ini akan berkata kepada orang-orang di sekitarnya.
 
Sambil menghasut orang-orang saat meminta-minta, lelaki Yahudi yang buta ini terus saja menanti pagi hari dengan penuh harap, karena setiap hari akan datang seorang lelaki baik yang menanyakan kabarnya dengan suara lembut dan membawakannya makanan. Tidak hanya itu, sang lelaki darmawan ini akan menyuapinya dengan penuh kesabaran hingga sang Yahudi pun merasa kenyang. Tentu saja sang Yahudi tidak menyia-nyiakan kesempatannya menghasut. Setiap kali sang lelaki dermawan itu datang, sang Yahudi tidak pernah lupa mengingatkannya untuk tidak mendekati Muhammad. Dan untuk menegaskan ucapannya tidak lupa sang Yahudi ini akan mencaci Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Entah dengan sebutan orang gila, pembohong atau tukang sihir.

Suatu hari Rosulullah wafat. Warga Madinah berduka, tetapi tidak demikian dengan sang lelaki Yahudi. Kabar wafatnya Rosulullah justru membuatnya bahagia, karena sangat membenci Rosulullah. Hanya saja sang lelaki Yahudi heran, sejak hari itu tidak ada lagi lelaki baik dan dermawan yang biasa membawakannya makanan dan menyuapinya.

Beberapa hari setelah wafatnya Rosulullah, Khalifah Abu Bakar Shiddiq berkunjung ke rumah anaknya yang juga adalah istri Rosulullah yaitu ‘Aisyah. Abu Bakar lantas bertanya kepada ‘Aisyah, “Adakah sunnah Rosulullah yang belum aku kerjakan ya ‘Aisyah ?”. ‘Aisyah pun menjawab pertanyaan ayahnya, “Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah, sungguh hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu saja”. “Apakah itu ?” tanya Abu Bakar kepada ‘Aisyah. “Selama ini, setiap pagi hari Rosulullah selalu pergi ke ujung pasar sambil membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang tua duduk di sana”, jawab ‘Aisyah.

Keesokan harinya, Abu Bakar pun pergi ke pasar yang ditunjukkan Aisyah dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis Yahudi itu. Abu Bakar mendekati pengemis itu dan memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abu Bakar mendekatinya, si pengemis Yahudi bertanya keras, “Siapa kamu ?”. Abu Bakar menjawab, “Aku orang yang biasa”. “Bukan” sergah si pengemis. “Engkau bukan yang biasa mendatangiku”, jawab si pengemis buta. “Apabila dia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang makanan”.

Abu Bakar segera menyuapi sang pengemis, namun pengemis itu menjadi marah dan berteriak. “Engkau bukan orang yang biasa. Kalau dia yang datang, tidak pernah susah mulut tuaku ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku dengan terlebih dahulu melumatkan makanan yang dibawanya. Jadi, katakan kepadaku siapa dirimu dan kemana orang yang biasa menyuapiku dulu”.

Hampir saja Abu Bakar tidak mampu menjawab karena air matanya mengalir deras. Sambil menahan sedih karena terkenang pada Rosulullah, Abu Bakar pun menceriterakan hal yang sebenarnya kepada sang pengemis Yahudi. “Aku memang bukan orang yang biasa dating kepadamu. Aku hanyalah salah seorang sahabatnya. Dan sungguh, orang darmawan baik dan mulia yang biasa mendatangimu itu sudah tiada. Dialah Rosulullah, Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam yang beberapa hari lalu meninggal dunia”. Betapa terkejut sang pengemis Yahudi. Jadi, yang telah membawakan makanan dan menyuapinya dengan penuh kasih sayang itu adalah orang yang selama ini dicaci makinya?”.

Setelah pengemis itu mendengar ceritera Abu Bakar, dia pun ikut menangis dan berkata, “Jadi, diakah sang Muhammad itu?”. Padahal selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, mencacinya dan menghasut orang-orang untuk membencinya. Tetapi tak sekalipun dia membalasku atau bahkan sekedar memarahiku. Bahkan ia mendatangiku setiap hari, melumatkan makanan dan menyuapiku dengan lemah lembut. Perilakunya ternyata begitu mulia, aku sungguh tidak menduga dialah Muhammad….”. Dengan tidak menunggu waktu yang lama, sang pengemis tua Yahudi yang buta itu pun menyesali perbuatannya dan akhirnya bersyahadat di hadapan Abu Bakar.

Kelembutan merupakan akhlak yang mampu mendekatkan manusia kepada ajaran Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, “Maka, disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu” (Ali Imran ayat 159). Kekerasan dan perilaku anarkis akan merugikan Islam sendiri. Rosulullah selalu menyeru umatnya agar bersikap lembut, sabdanya, “Sikap hati-hati (tidak tergesa-gesa), kesederhanaan, dan perilaku lembut adalah bagian dari 24 ciri kenabian” (HR At-Tirmidzi).

Rosulullah pernah mengingatkan istrinya (Siti Aisyah) saat bersikap kasar, “Sesungguhnya Allah Mahalembut dan menyukai kelembutan dan Allah member dampak positif pada kelembutan yang tidak diberikan kepada kekerasan. Dan tiada kelembutan pada sesuatu kecuali akan menghiasinya dan bila dicabut kelembutan dari sesuatu akan menjadikannya buruk” (HR Muslim). Rosulullah juga menegaskan bahwa “Barangsiapa yang tidak memiliki kelembautan maka akan dijauhkan dari kebaikan” (HR Muslim).

Semoga kisah ini dapat dijadikan tauladan dalam kasih sayang, sabar dicaci maki tanpa marah dan membenci, menghormati orang tua yang bukan saudara atau familinya dan kelembutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar