Di
suatu sudut pasar kota Madinah, hidup seorang lelaki Yahudi tua yang
buta. Lelaki ini setiap harinya mengisi dengan meminta-minta, namun
tidak hanya meminta-minta seperti pengemis lainnya. Lelaki Yahudi ini
juga suka berbicara kepada siapa saja yang
lewat atau mendekatinya. Sayangnya, lelaki ini bukan bicara yang
baik-baik, justru bicara sambil menghasut. “Wahai kawan, jangan dekati
Muhammad dan jangan mau didekati Muhammad. Dia itu orang gila, pembohong
dan tukang sihir. Bila kalian dekat-dekat dengannya, kalian akan
dipengaruhinya. Jadi hati-hatilah. Jangan dekat-dekat Muhammad” begitu
selalu si Yahudi ini akan berkata kepada orang-orang di sekitarnya.
Sambil menghasut orang-orang saat meminta-minta, lelaki Yahudi yang
buta ini terus saja menanti pagi hari dengan penuh harap, karena setiap
hari akan datang seorang lelaki baik yang menanyakan kabarnya dengan
suara lembut dan membawakannya makanan. Tidak hanya itu, sang lelaki
darmawan ini akan menyuapinya dengan penuh kesabaran hingga sang Yahudi
pun merasa kenyang. Tentu saja sang Yahudi tidak menyia-nyiakan
kesempatannya menghasut. Setiap kali sang lelaki dermawan itu datang,
sang Yahudi tidak pernah lupa mengingatkannya untuk tidak mendekati
Muhammad. Dan untuk menegaskan ucapannya tidak lupa sang Yahudi ini akan
mencaci Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Entah dengan sebutan
orang gila, pembohong atau tukang sihir.
Suatu hari Rosulullah wafat. Warga Madinah berduka, tetapi tidak
demikian dengan sang lelaki Yahudi. Kabar wafatnya Rosulullah justru
membuatnya bahagia, karena sangat membenci Rosulullah. Hanya saja sang
lelaki Yahudi heran, sejak hari itu tidak ada lagi lelaki baik dan
dermawan yang biasa membawakannya makanan dan menyuapinya.
Beberapa hari setelah wafatnya Rosulullah, Khalifah Abu Bakar Shiddiq
berkunjung ke rumah anaknya yang juga adalah istri Rosulullah yaitu
‘Aisyah. Abu Bakar lantas bertanya kepada ‘Aisyah, “Adakah sunnah
Rosulullah yang belum aku kerjakan ya ‘Aisyah ?”. ‘Aisyah pun menjawab
pertanyaan ayahnya, “Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah,
sungguh hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan
kecuali satu saja”. “Apakah itu ?” tanya Abu Bakar kepada ‘Aisyah.
“Selama ini, setiap pagi hari Rosulullah selalu pergi ke ujung pasar
sambil membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang tua
duduk di sana”, jawab ‘Aisyah.
Keesokan harinya, Abu Bakar pun pergi ke pasar yang ditunjukkan Aisyah
dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis Yahudi itu.
Abu Bakar mendekati pengemis itu dan memberikan makanan itu kepadanya.
Ketika Abu Bakar mendekatinya, si pengemis Yahudi bertanya keras, “Siapa
kamu ?”. Abu Bakar menjawab, “Aku orang yang biasa”. “Bukan” sergah si
pengemis. “Engkau bukan yang biasa mendatangiku”, jawab si pengemis
buta. “Apabila dia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang
makanan”.
Abu Bakar segera menyuapi sang pengemis, namun pengemis itu menjadi
marah dan berteriak. “Engkau bukan orang yang biasa. Kalau dia yang
datang, tidak pernah susah mulut tuaku ini mengunyah. Orang yang biasa
mendatangiku itu selalu menyuapiku dengan terlebih dahulu melumatkan
makanan yang dibawanya. Jadi, katakan kepadaku siapa dirimu dan kemana
orang yang biasa menyuapiku dulu”.
Hampir saja Abu Bakar tidak mampu menjawab karena air matanya mengalir
deras. Sambil menahan sedih karena terkenang pada Rosulullah, Abu Bakar
pun menceriterakan hal yang sebenarnya kepada sang pengemis Yahudi.
“Aku memang bukan orang yang biasa dating kepadamu. Aku hanyalah salah
seorang sahabatnya. Dan sungguh, orang darmawan baik dan mulia yang
biasa mendatangimu itu sudah tiada. Dialah Rosulullah, Muhammad
shalallahu ‘alaihi wa sallam yang beberapa hari lalu meninggal dunia”.
Betapa terkejut sang pengemis Yahudi. Jadi, yang telah membawakan
makanan dan menyuapinya dengan penuh kasih sayang itu adalah orang yang
selama ini dicaci makinya?”.
Setelah pengemis itu mendengar ceritera Abu Bakar, dia pun ikut
menangis dan berkata, “Jadi, diakah sang Muhammad itu?”. Padahal selama
ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, mencacinya dan menghasut
orang-orang untuk membencinya. Tetapi tak sekalipun dia membalasku atau
bahkan sekedar memarahiku. Bahkan ia mendatangiku setiap hari,
melumatkan makanan dan menyuapiku dengan lemah lembut. Perilakunya
ternyata begitu mulia, aku sungguh tidak menduga dialah Muhammad….”.
Dengan tidak menunggu waktu yang lama, sang pengemis tua Yahudi yang
buta itu pun menyesali perbuatannya dan akhirnya bersyahadat di hadapan
Abu Bakar.
Kelembutan merupakan akhlak yang mampu mendekatkan manusia kepada
ajaran Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, “Maka, disebabkan
rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu” (Ali Imran ayat 159). Kekerasan dan
perilaku anarkis akan merugikan Islam sendiri. Rosulullah selalu
menyeru umatnya agar bersikap lembut, sabdanya, “Sikap hati-hati (tidak
tergesa-gesa), kesederhanaan, dan perilaku lembut adalah bagian dari
24 ciri kenabian” (HR At-Tirmidzi).
Rosulullah pernah mengingatkan istrinya (Siti Aisyah) saat bersikap
kasar, “Sesungguhnya Allah Mahalembut dan menyukai kelembutan dan Allah
member dampak positif pada kelembutan yang tidak diberikan kepada
kekerasan. Dan tiada kelembutan pada sesuatu kecuali akan menghiasinya
dan bila dicabut kelembutan dari sesuatu akan menjadikannya buruk” (HR
Muslim). Rosulullah juga menegaskan bahwa “Barangsiapa yang tidak
memiliki kelembautan maka akan dijauhkan dari kebaikan” (HR Muslim).
Semoga kisah ini dapat dijadikan tauladan dalam kasih sayang, sabar
dicaci maki tanpa marah dan membenci, menghormati orang tua yang bukan
saudara atau familinya dan kelembutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar