Segala
hal yang berkaitan dengan pendidikan anak, selalu menarik perhatian
setiap orang tua. Tidak heran bila buku-buku tentang pendidikan anak
selalu menjadi “buruan” para ayah dan ibu sepanjang waktu. Sebuah
ekspresi akan besarnya tanggungjawab terhadap tumbuh kembangnya
anak-anak dalam fitrahnya yang suci.
Terlalu banyak argumen yang dapat disajikan, mengapa orang tua harus bersemangat dalam mendidik anak. Baik alasan-alasan yang bersifat diniyah maupun duniawiyah. Dalam dimensi keduniaan, anak-anak yang terdidik dengan pendidikan rabbani akan menunjukkan baktinya kepada kedua orang tua; memberikan perhatian penuh di segala susah dan senangnya; Mengangkat derajat kemuliaan dengan karya-karya terbaik di mata manusia; dan merawat dengan penuh kasih sayang di kala tua.
Sementara dalam dimensi akhirat, cukuplah kiranya satu hadits Rasulullah SAW sebagai spirit: “Jika anak Adam meninggal dunia, terputuslah segala amalnya kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya” (HR. Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ahmad).
Keshalihan dan kedekatan kepada Allah adalah bekal utama dalam menjalankan peran mulia ini. Di samping itu, bekal lain yang harus dimiliki oleh setiap orang tua dalam mendidik anak-anak mereka adalah ilmu. Ilmu tentang urgensi, objek (hal-hal yang harus diutamakan), metode, hingga sarana-sarananya.
Kedua bekal utama di atas, insya Allah telah cukup memadai untuk membentuk anak-anak shalih dengan ijin-Nya. Namun, agar usaha orang tua lebih optimal, ada beberapa hal yang tidak boleh dilupakan ketika mendidik anak-anak mereka:
1. Kerjasama
Dalam konteks keluarga, kita mengenal istilah keluarga inti dan tambahan. Keluarga inti meliputi; ayah, ibu dan anak-anak. Sedangkan keluarga tambahan adalah semua orang yang tinggal seatap dengan keluarga inti seperti; adik, kakak, keponakan, pembantu dan lain-lain. Sekaitan dengan usaha mendidik anak, semua pihak baik yang termasuk keluarga inti maupun tambahan harus bekerjasama dengan baik. Memiliki persepsi dan sikap yang sama tentang apa yang semestinya mereka perbuat dan tidak di depan anak-anak. Jangan sampai ada seorang pun yang menjadi model negatif, dari sisi perilaku dan ucapannya.
Kondisi ini lebih mirip pada pembentukan bi’ah shalihah (lingkungan yang kondusif) bagi tumbuh suburnya potensi-potensi kebaikan pada diri anak-anak. Sehingga fungsi rumah sebagai masjid akan tampak lebih dominan di mata anak-anak, dengan hadirnya ta’awun (saling bekerjasama) dalam hal kebaikan di antara orang-orang yang bernaung di dalamnya.
2. Lemah lembut
Kalau boleh dianalogikan, anak ibarat benih yang baru mengeluarkan tunasnya. Meski butuh air untuk pertumbuhan, siapa pun tidak boleh menyiramkan air dengan jumlah yang berlebihan. Berlebihan dalam menyiramkan air justru akan menyebabkan tunas itu patah dan tidak dapat tumbuh dengan sempurna. Demikian halnya dengan anak. Kendati sangat butuh arahan, nasihat dan didikan, tidak selayaknya pendidikan anak dilakukan dengan cara-cara kasar. Alih-alih meninggalkan kesan, sebaliknya akan mengakibatkan anak-anak terganggu secara kejiwaan.
Rasul SAW bersabda; “Sesungguhnya Allah Maha lembut, menyukai orang yang lembut. Dan sesungguhnya Allah memberikan kepada kelembutan apa yang tidak diberikannya kepada sikap kasar.” (HR. Muslim).
3. Bertahap
Allah menyertakan setiap syariat yang diturunkan-Nya dengan minhaj (metode implementasi)-nya masing-masing. Mengikuti kesempurnaan Islam, Allah pun menjadikan metode implementasinya sebagai minhaj yang paling sempurna. Di antara minhaj itu adalah; marhaliyah (bertahap). untuk itu, setiap waktu dalam mendidik anak yang merupakan bagian dari mengajarkan Islam, syariat menuntut orang tua untuk melakukannya secara bertahap.
Hal ini berarti, secara otomatis mengharuskan orang tua mampu membuat skala prioritas, tentang mana yang harus didahulukan dan apa yang mesti diakhirkan. Memulai dari hal-hal yang mudah, dari diri dan lingkungan terdekatnya, serta disesuaikan dengan kemampuan berpikir atau mencerna setiap peristiwa dan kata-kata. Dengan bertahap, orang tua akan lebih mudah melakukan evaluasi. Dengan bertahap, anak-anak akan mudah mengambil setiap pelajaran yang diberi.
4. Evaluasi
Keberhasilan apa yang bisa diketahui dari proses pendidikan anak tanpa evaluasi? Tidak ada. Karenanya, evaluasi menjadi bagian penting yang tak terpisahkan. Karena dengan evaluasi orang tua dapat mengetahui hal-hal apa sajakah yang telah dan belum diberikan kepada anak-anak, serta tindakan terbaik apa yang akan diambil karenanya. Orang tua dapat memilih caranya sendiri-sendiri dalam melakukan evaluasi atas proses pendidikan anak yang mereka lakukan. Untuk itu, luangkan sebagian dari waktu-waktu anda khusus untuk melakukan evaluasi ini. Bila perlu, buat form berisi daftar hal-hal yang perlu dievaluasi.
Kita tentu ingat apa yang dilakukan Rasulullah dengan mendatangi rumah Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar ibnul Khatthab di waktu-waktu qiyamul lail. Juga ketika Rasulullah menanyakan kepada para shahabat: “Siapakah di antara kalian yang pagi ini berpuasa?” Abu Bakar menjawab, “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah SAW bertanya lagi: “Siapakah hari ini yang mengantarkan jenazah orang yang meninggal?” Abu Bakar menjawab, “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah SAW bertanya, “Siapakah di antara kalian yang hari ini memberikan makan pada orang miskin?” Abu Bakar menjawab, “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah SAW bertanya kembali “Siapakah di antara kalian yang hari ini telah menengok orang sakit?” Abu Bakar menjawab, “Saya wahai Rasulullah.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah semua amal di atas terkumpul dalam diri seseorang melainkan ia akan masuk surga” (HR Bukhari).
5. Konsisten
Rasulullah bersabda; “Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah yang paling konsisten, meskipun sedikit” Berbeda dengan amal yang banyak tapi hanya sesekali, amal yang konsisten dilahirkan oleh hati yang khusyuk, sehingga lebih berpahala dan jauh lebih besar pengaruhnya.
Hubungannya dengan mendidik anak, konsistensi sangat dibutuhkan. Sebagai jawaban atas fitrah jiwa manusia yang mudah berubah-ubah tergantung lingkungan dimana ia berada. Lebih-lebih dalam kondisi di mana kemaksiatan seolah tak berjeda. Tersebar hampir di setiap sudut kota, di pinggiran jalan raya, dan melalui televisi menyelinap ke bilik-bilik rumah kita. Ketidakonsistenan orang tua hanya akan “menyulap” nilai-nilai rabbani yang dengan susah payah ditanamkan, lalu berganti dengan budaya jahiliyah yang penuh kehinaan.
Ya Rabbi, anugerahkanlah kepada kami anak-anak yang shalih, yang dengan keshalihannya Engkau berkenan mengumpulkan kami bersama para nabi, shidiqin, syahada dan shalihin…! [voa-islam]
Oleh : Sumedi
Penulis adalah, Alumni Fakultas Teknik Universitas Cenderawasi Jayapura, dan Kini bekerja di LPMP Papua
Terlalu banyak argumen yang dapat disajikan, mengapa orang tua harus bersemangat dalam mendidik anak. Baik alasan-alasan yang bersifat diniyah maupun duniawiyah. Dalam dimensi keduniaan, anak-anak yang terdidik dengan pendidikan rabbani akan menunjukkan baktinya kepada kedua orang tua; memberikan perhatian penuh di segala susah dan senangnya; Mengangkat derajat kemuliaan dengan karya-karya terbaik di mata manusia; dan merawat dengan penuh kasih sayang di kala tua.
Sementara dalam dimensi akhirat, cukuplah kiranya satu hadits Rasulullah SAW sebagai spirit: “Jika anak Adam meninggal dunia, terputuslah segala amalnya kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya” (HR. Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ahmad).
Keshalihan dan kedekatan kepada Allah adalah bekal utama dalam menjalankan peran mulia ini. Di samping itu, bekal lain yang harus dimiliki oleh setiap orang tua dalam mendidik anak-anak mereka adalah ilmu. Ilmu tentang urgensi, objek (hal-hal yang harus diutamakan), metode, hingga sarana-sarananya.
Kedua bekal utama di atas, insya Allah telah cukup memadai untuk membentuk anak-anak shalih dengan ijin-Nya. Namun, agar usaha orang tua lebih optimal, ada beberapa hal yang tidak boleh dilupakan ketika mendidik anak-anak mereka:
1. Kerjasama
Dalam konteks keluarga, kita mengenal istilah keluarga inti dan tambahan. Keluarga inti meliputi; ayah, ibu dan anak-anak. Sedangkan keluarga tambahan adalah semua orang yang tinggal seatap dengan keluarga inti seperti; adik, kakak, keponakan, pembantu dan lain-lain. Sekaitan dengan usaha mendidik anak, semua pihak baik yang termasuk keluarga inti maupun tambahan harus bekerjasama dengan baik. Memiliki persepsi dan sikap yang sama tentang apa yang semestinya mereka perbuat dan tidak di depan anak-anak. Jangan sampai ada seorang pun yang menjadi model negatif, dari sisi perilaku dan ucapannya.
Kondisi ini lebih mirip pada pembentukan bi’ah shalihah (lingkungan yang kondusif) bagi tumbuh suburnya potensi-potensi kebaikan pada diri anak-anak. Sehingga fungsi rumah sebagai masjid akan tampak lebih dominan di mata anak-anak, dengan hadirnya ta’awun (saling bekerjasama) dalam hal kebaikan di antara orang-orang yang bernaung di dalamnya.
2. Lemah lembut
Kalau boleh dianalogikan, anak ibarat benih yang baru mengeluarkan tunasnya. Meski butuh air untuk pertumbuhan, siapa pun tidak boleh menyiramkan air dengan jumlah yang berlebihan. Berlebihan dalam menyiramkan air justru akan menyebabkan tunas itu patah dan tidak dapat tumbuh dengan sempurna. Demikian halnya dengan anak. Kendati sangat butuh arahan, nasihat dan didikan, tidak selayaknya pendidikan anak dilakukan dengan cara-cara kasar. Alih-alih meninggalkan kesan, sebaliknya akan mengakibatkan anak-anak terganggu secara kejiwaan.
Rasul SAW bersabda; “Sesungguhnya Allah Maha lembut, menyukai orang yang lembut. Dan sesungguhnya Allah memberikan kepada kelembutan apa yang tidak diberikannya kepada sikap kasar.” (HR. Muslim).
3. Bertahap
Allah menyertakan setiap syariat yang diturunkan-Nya dengan minhaj (metode implementasi)-nya masing-masing. Mengikuti kesempurnaan Islam, Allah pun menjadikan metode implementasinya sebagai minhaj yang paling sempurna. Di antara minhaj itu adalah; marhaliyah (bertahap). untuk itu, setiap waktu dalam mendidik anak yang merupakan bagian dari mengajarkan Islam, syariat menuntut orang tua untuk melakukannya secara bertahap.
Hal ini berarti, secara otomatis mengharuskan orang tua mampu membuat skala prioritas, tentang mana yang harus didahulukan dan apa yang mesti diakhirkan. Memulai dari hal-hal yang mudah, dari diri dan lingkungan terdekatnya, serta disesuaikan dengan kemampuan berpikir atau mencerna setiap peristiwa dan kata-kata. Dengan bertahap, orang tua akan lebih mudah melakukan evaluasi. Dengan bertahap, anak-anak akan mudah mengambil setiap pelajaran yang diberi.
4. Evaluasi
Keberhasilan apa yang bisa diketahui dari proses pendidikan anak tanpa evaluasi? Tidak ada. Karenanya, evaluasi menjadi bagian penting yang tak terpisahkan. Karena dengan evaluasi orang tua dapat mengetahui hal-hal apa sajakah yang telah dan belum diberikan kepada anak-anak, serta tindakan terbaik apa yang akan diambil karenanya. Orang tua dapat memilih caranya sendiri-sendiri dalam melakukan evaluasi atas proses pendidikan anak yang mereka lakukan. Untuk itu, luangkan sebagian dari waktu-waktu anda khusus untuk melakukan evaluasi ini. Bila perlu, buat form berisi daftar hal-hal yang perlu dievaluasi.
Kita tentu ingat apa yang dilakukan Rasulullah dengan mendatangi rumah Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar ibnul Khatthab di waktu-waktu qiyamul lail. Juga ketika Rasulullah menanyakan kepada para shahabat: “Siapakah di antara kalian yang pagi ini berpuasa?” Abu Bakar menjawab, “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah SAW bertanya lagi: “Siapakah hari ini yang mengantarkan jenazah orang yang meninggal?” Abu Bakar menjawab, “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah SAW bertanya, “Siapakah di antara kalian yang hari ini memberikan makan pada orang miskin?” Abu Bakar menjawab, “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah SAW bertanya kembali “Siapakah di antara kalian yang hari ini telah menengok orang sakit?” Abu Bakar menjawab, “Saya wahai Rasulullah.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah semua amal di atas terkumpul dalam diri seseorang melainkan ia akan masuk surga” (HR Bukhari).
5. Konsisten
Rasulullah bersabda; “Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah yang paling konsisten, meskipun sedikit” Berbeda dengan amal yang banyak tapi hanya sesekali, amal yang konsisten dilahirkan oleh hati yang khusyuk, sehingga lebih berpahala dan jauh lebih besar pengaruhnya.
Hubungannya dengan mendidik anak, konsistensi sangat dibutuhkan. Sebagai jawaban atas fitrah jiwa manusia yang mudah berubah-ubah tergantung lingkungan dimana ia berada. Lebih-lebih dalam kondisi di mana kemaksiatan seolah tak berjeda. Tersebar hampir di setiap sudut kota, di pinggiran jalan raya, dan melalui televisi menyelinap ke bilik-bilik rumah kita. Ketidakonsistenan orang tua hanya akan “menyulap” nilai-nilai rabbani yang dengan susah payah ditanamkan, lalu berganti dengan budaya jahiliyah yang penuh kehinaan.
Ya Rabbi, anugerahkanlah kepada kami anak-anak yang shalih, yang dengan keshalihannya Engkau berkenan mengumpulkan kami bersama para nabi, shidiqin, syahada dan shalihin…! [voa-islam]
Oleh : Sumedi
Penulis adalah, Alumni Fakultas Teknik Universitas Cenderawasi Jayapura, dan Kini bekerja di LPMP Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar