Sebesar perhatiannya terhadap keberlangsungan hidup sebuah
bangsa, sebesar itu pulalah perhatian Islam kepada keluarga. Karena
tidak akan mungkin sebuah bangsa mampu berdiri tegak dalam kekokohan
tanpa didasari oleh keluarga-keluarga yang juga kokoh dan berdaya
tahan.
Keluarga merupakan unit terkecil yang menyusun
bangunan sebuah negara. Ibarat sebuah cermin, keluarga dapat menjadi
miniatur untuk melihat baik-buruk, kokoh-rapuh, serta maju-mundurnya
setiap negara di mana unit-unit keluarga itu berada. Keluarga juga
merupakan titik tolak, yang menjadi landasan pacu bagi setiap
anggotanya untuk menjadi sebagai apa yang dicita-citakan.
Sudah
menjadi rahasia umum, bahwa orang-orang besar dan berpengaruh lahir
dari rahim keluarga-keluarga harmonis. Sementara orang-orang kerdil dan
inferior, kebanyakan berasal dari keluarga sarat konflik, kering dari
nilai ketuhanan dan kasih sayang.
Setiap orang, pasti
mendambakan anak, istri, suami yang berkepribadian mengagumkan.
Mendapat kesuksesan dunia: fasilitas hidup nyaman, rumah yang luas,
kendaraan yang bagus, harta yang banyak, status social yang tinggi,
disenangi kawan, disegani lawan, dan lain-lain. Juga sukses akhirat:
memperoleh ridha Allah, dibebaskan dari siksa neraka dan masuk ke dalam
surga dengan sejahtera.
Namun, sangat disayangkan, banyak
orang dengan dalih ingin meraih keberhasilan dan mengangkat derajat
keluarga seseorang pergi ke tempat-tempat yang jauh dengan
menelantarkan keluarganya. Mengerjakan aktivitas yang tak berkaitan
dengan tujuan yang dicita-citakan, selain isapan jempol dan permainan
angan. Mereka mungkin lupa bahwa sesungguhnya rahasia kesuksesan itu
ada di tengah-tengah keluarga.
Untuk itu, setiap suami
dan istri, semestinya memberikan perhatian yang tinggi terhadap
keluarga; Menggali sebab-sebab yang mempengaruhi kemampuan keluarga
menghadiahkan kesuksesan yang kepada semua anggotanya; mengasah
ketajamannya; serta memupuk kesuburannya.
1. ORIENTASI
Tidak
semua orang mempunyai orientasi yang sama dalam membangun keluarganya.
Ada yang mendasarinya dengan orientasi duniawi: kesenangan, kekayaan,
kekuasaan, keturunan dan kecantikan/ketampanan. Ada pula yang melandasi
dengan orientasi ukhrawi. Yang pertama tidak akan mendapat bagian
apa-apa di akhirat. Sementara yang kedua, akan merengkuh kebahagiaan
dunia dan akhirat.
Allah SWT menerangkan, “Barang
siapa yang mengharapkan kehidupan dunia dan perhiasannya maka Kami akan
penuhi keinginan mereka dengan membalas amal itu di dunia untuk mereka
dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Mereka itulah orang-orang
yang tidak meraih apa-apa ketika di akhirat melainkan siksa neraka dan
lenyaplah semua amal yang mereka perbuat selama di dunia dan sia-sialah
segala amal usaha mereka” (Qs. Hud 15-16)
Keluarga
dengan orientasi ukhrawi adalah keluarga yang terdiri dari
pribadi-pribadi yang tidak menautkan tujuan di dalam hatinya selain
kepada surga dan ridha Allah. Dimulai sejak akan menikah; ketika
memilih pasangan, pada saat melangsungkan pernikahan hingga setelah
terbentuk sebuah rumah tangga; berperan sebagai suami, istri dan orang
tua. Sehingga, segala bentuk pemikiran, kata maupun perbuatannya adalah
wujud dari harapan yang besar akan perjumpaan dengan Allah.
Kekhusyukan
dalam hal ini menjadi teramat urgen. Karena hanya dengan hati yang
khusyuk sajalah seseorang dapat menjaga keistiqamahan dalam
berorientasi. Bahkan dalam kondisi-kondisi ketika dihantam musibah yang
mengguncangkan jiwa sekali pun, orang yang khusyuk senantiasa tetap
sadar bahwa orientasi hidupnya hanyalah Allah SWT.
Firman Allah, “Yaitu, orang –orang yang apabila ditimpa musibah ia mengucapkan: ‘inna lillahi wa innaa ilaihi roojiuun...” (Qs. Al-Baqarah156).
Lalu,
bagaimanakah jika kesadaran untuk menjadikan Allah sebagai orientasi
dalam berkeluarga itu muncul setelah berkeluarga? Mulailah sekarang
juga untuk memperbaikinya. Mengikhlaskan apa saja yang telah berlalu,
dan berharap kepada Allah terhadap setiap hal yang diusahakan untuk
keluarga anda.
2. CINTA
Allah
telah mengabarkan kepada kita, bahwa cinta tertinggi setiap mukmin
adalah kepada Allah, Rasul dan jihad di jalan-Nya. Setelah itu, baru
cinta kepada orang tua, suami, istri, anak, saudara seiman dan
lain-lain.
Firman Allah, “Katakanlah, jika bapak-bapak,
anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum kerabat, harta benda yang
kalian miliki, dan perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, itu
lebih kalian cintai dari pada Allah, Rasul dan berjihad di jalan-Nya,
maka tunggulah hingga Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (Qs. At-Taubah 24).
Untuk
menghadirkan cinta tertinggi di lubuk sanubari, setiap pasangan
suami-istri harus berusaha menjaga perasaan cinta di dalam diri dan
keluarganya. Mampu menjaga ikatan cinta di antara mereka dan tahu
hal-hal yang dapat kian menumbuhsuburkan perasaan cinta di dalam
hatinya. Karena kekuatan cinta suami istri turut berperan dalam
mengokohkan cinta kepada Allah SWT.
Seorang mantan aktris
yang kini aktif di dunia parenting islami mengungkapkan apa yang
menurutnya dapat menyuburkan cinta suami kepada istri dan sebaliknya,
“Setiap suami akan merasakan cinta kepada istrinya kian menguat bukan
karena kelihaian syahwat, melainkan karena kelapangan hati istri dalam
menerima nafkah dan rezeki, kepandaian menjaga harga diri suami dengan
pergaulan yang suci dan baik –terutama dalam pergaulan dengan lawan
jenis– dan karena keterampilan serta kesabarannya dalam mendidik dan
mengasuh buah hati mereka.”
Sungguh, amat besar pahala
yang dijanjikan kepada istri yang ikhlas dalam mengurus rumah tangga
dan anak-anaknya. Dalam sebuah riwayat Rasul SAW bersabda: “Siapa
di antara kalian yang ikhlas tinggal di rumah untuk mengurus anak-anak
dan melayani segala urusan suaminya, maka ia akan memperoleh pahala
yang kadarnya sama dengan pahala para mujahidin yang berjuang di jalan
Allah” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Sementara istri,”
lanjutnya, “bertambah kuat cintanya kepada suami bukan karena jumlah
uang belanja yang tak ada batasan atau pemberian hadiah permata, baju,
sepatu, berlian, zamrud, dan emas tidak berputusan dan berkeliling
dunia kapan saja bisa. Tidak! Banyak ratu-ratu menjalin cinta dengan
lelaki biasa bukan karena pemberian dan jaminan raga, melainkan karena
kelembutan hati dan ketertimangan diri.”
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menyebutkan ada tiga faktor yang menyebabkan tumbuhnya cinta:
1. Sifat/kelebihan yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia kagum dan jatuh cinta padanya,
2. Perhatian sang kekasih terhadap sifat-sifat tersebut, dan
3. Pertautan antara seseorang yang sedang jatuh cinta dengan orang yang dicintainya.
Di
atas semua itu, keshalihan dan kedekatan dengan Sang Maha Dekat, akan
membuat daya “magnet” seorang suami/istri bertambah kuat. Karena
keshalihan dan kedekatan kepada sang Khaliq akan mengundang cinta-Nya.
Dan manakala Allah telah mencintai kita, maka akan mencintai kita pula
segenap makhluk dengan ijin-Nya.
Cinta seorang istri
kepada suaminya, atau suami kepada istrinya, bukan lagi semata karena
ikatan perkawinan. Namun, ada dan tidaknya hal-hal yang menjadi sebab
datangnya cinta Allah sebagai alasan. Sehingga, kadar cinta suami/istri
akan bertambah dan berkurang, seiring meningkat dan menurunnya
kualitas ibadah dan keimanan pasangannya. Keduanya senantiasa
menyadari, bahwa cinta yang tidak dibangun di atas pondasi mahabatullah, hanya akan menjerumuskan ke dasar jurang kelalaian dan kenistaan.
3. NAFKAH
Meski
bukan segalanya, nafkah berupa materi tetap menjadi sesuatu yang tidak
bisa diremehkan begitu saja. Dalam sebuah penelitian disertasi
doktoral, Jan Andersen menemukan 70% responden mengakui bahwa keuangan
merupakan penyebab perceraian. Karena keluarga tak mungkin bisa
berjalan tanpa ada nafkah yang menggerakkan roda perekonomiannya.
Materi bagi keluarga-keluarga muslim menjadi sarana pemenuhan tuntutan
syariat, menjaga ‘iffah (kemuliaan diri) dari meminta-minta, serta
sebagai pembatas agar tidak dekat kepada kekafiran.
Islam mewajibkan bagi orang yang mampu untuk memberi nafkah. Allah Ta’ala berfirman, “Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan
Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan (sekedar) apa yang telah Allah berikan kepadanya.” (Qs. Ath-Thalaq 7).
Bahkan Rasul SAW mengingatkan dalam haditsnya: “Seseorang itu cukup berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang harus diberi belanja.” (HR. Abu Daud dan lain-lain)
Tidak
harus banyak, asalkan halal. Banyak sedikit sangat relatif. Namun,
kehalalan nafkah yang diberi, tidak bisa ditawar-tawar. Mengabaikan
kehalalan dapat berakibat sangat fatal bagi semua pribadi di dalam
keluarga: tidak diterima doa dan ibadahnya, mendorong berperilaku
menyimpang, menghalangi ketaatan hingga menjadi penyebab terlemparnya
ke dalam Jahanam.
Menenteramkan sungguh kalimat-kalimat
yang mengalir dari lisan istri-istri sahabat dan generasi salafus shalih
setiap kali mengantarkan suami-suami mereka yang hendak mengais
rezeki: “Suamiku, bertakwallah kepada Allah terhadap apa yang akan
engkau nafkahkan kepada kami. berikanlah kepada kami hanya nafkah yang
halal. Karena perihnya kelaparan dapat kami tahan, sementara panasnya
neraka yang memanggang tak mungkin membuat kami dapat bertahan.”
4. BERBUAT ADIL
Adil
berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya. Lawan adil adalah zalim.
Dan ukuran yang paling tepat untuk menilai adil atau zalimnya seseorang
adalah Al-Qur’an. Karena hanya Al-Qur’an sajalah yang tidak mengandung
perselisihan di dalamnya. Sehingga tidak akan membuat siapa pun
bingung harus bersikap seperti apa. Berbeda sangat jauh dengan
hukum/aturan apa pun buatan manusia yang mudah diinterpretasikan
sekehendak hatinya.
Adil tidak terbatas pada suami istri
harus memenuhi setiap kewajibannya sebagai suami terhadap istri maupun
sebagai istri terhadap suami, juga kewajiban keduanya terhadap anak-anak
mereka. Akan tetapi adil, meliputi pemenuhan terhadap semua perintah
dan larangan Allah yang mengenai diri setiap pribadi di dalam keluarga.
Suami
yang adil adalah, yang taat kepada Allah, melaksanakan tugas memimpin,
menafkahi dan mendidik istri dan anak-nya. Istri yang adil adalah yang
memenuhi semua perintah Allah SWT dan larangan-larangannya, taat,
menjaga harta, kehormatan diri dan suaminya, dan mengasuh secara baik
anak-anaknya.
Rasul SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah
memiliki hak atas dirimu yang harus engkau tunaikan, dirimu memiliki
hak yang harus engkau tunaikan, dan keluargamu memiliki hak atas dirimu
yang harus engkau tunaikan. Maka tunaikanlah hak-hak masing-masing
dari semua itu.” (HR. Bukhari).
Rasul SAW juga menyebutkan, bahwa ada tiga hal yang dapat menyelamatkan. Di antara ketiga hal itu adalah: “Berbuat adil dalam keadaan ridha (senang) maupun dalam keadaan benci”
5. SALING MENASEHATI
Tidak
seorang pun yang tidak memerlukan nasihat orang lain. Suami,
membutuhkan nasihat istrinya. Istri mengharapkan bimbingan suaminya.
Anak-anak merindukan untaian lembut nasihat kedua orang tuannya. Orang
tua, terkadang perlu mendengar pendapat anak-anaknya.
Ingat
apa yang dilakukan Ibunda Khadijah terhadap Rasulullah SAW sesaat
setelah turun wahyu yang pertama? Ketika sekujur tubuh Rasulullah SAW
menggigil karena khawatir akan keselamatan dirinya, wanita agung itu
hadir dengan nasihat-nasihat yang menenteramkan jiwa. “Bergembiralah
dan tenteramkanlah hatimu. Demi Allah yang menguasai diriku, “Allah
SWT tidak akan mengecewakanmu. Engkau orang yang sentiasa berusaha
untuk menghubungkan tali persaudaraan, selalu berkata benar, menyantuni
anak yatim piatu, memuliakan tamu dan memberi bantuan kepada setiap
orang yang ditimpa kesusahan.”
Rasul SAW melukiskan kesannya yang mendalam: “Khadijah
beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkari. Dia membenarkan aku
ketika orang-orang mendustakan. Dan dia memberikan hartanya kepadaku
ketika orang-orang tidak memberiku apa-apa. Allah mengaruniai aku anak
darinya dan mengharamkan bagiku anak dari selain dia” (HR. Imam Ahmad).
Nasihat
(dengan ijin Allah), dapat membuat yang lupa menjadi ingat. Yang
tersesat kembali selamat. Dan yang lemah jadi bersemangat.
Demikian indah kiasan yang Allah berikan bagi pasangan suami istri. Dalam surat Al-Baqarah 187 Allah menyebut: “Mereka (istri-istrimu) itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka!”
Apa
saja yang dilakukan oleh pemilik pakaian terhadap pakaian
kesayangannya? Tentu, bukan hanya memakai secara terus menerus sampai
pakaian tersebut usang, bau dan sobek sana sini. Orang yang bijak,
selain memakai ia pun akan berpikir untuk menjaga agar pakaiannya tidak
koyak, senantiasa dalam keadaan halus, harum dan wangi. Karenanya,
setiap kali pakaiannya itu kotor, ia akan memilihkan detergen yang
terbaik untuk mencuci. Setelah kering, pakaian itu akan diseterika dan
diberi wewangian. Lalu, diletakkan di tempat yang terbaik di dalam
lemari.
Maka, demikian pula yang seharusnya dilakukan
seorang suami/istri terhadap pasangannya. Ia akan selalu menjaga
kebersihan jiwa dari segala hal yang mengotorinya. Menghiasi dengan
wangi akhlak yang terpuji. Dan membentengi dari ancaman apa pun yang
dapat merusakkan hati. Mereka akan selalu saling menasehati untuk
menetapi kebenaran dan kesabaran, sebagai wujud kasih sayang dan
perhatian yang mendalam. Sebelum segalanya terlambat, dan taubat pun
tiada lagi bermanfaat.
Semoga keluarga-keluarga kita
menjadi keluarga yang mulia dan dimuliakan. Dipenuhi cahaya iman dan
ketakwaan. Dan ditaburi cinta yang tak berkesudahan. [voa-islam]
Oleh : Sumedi, A.Md.Tek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar